Selasa, 16 Juni 2009

Aku Memang Pria Biasa.

Sahabatku, ketika aku putuskan untuk menikah, aku memang pasrah dengan segala ketentuan dari Sang Maha Pencipta. Sekuat tenaga aku tidak ingin mengatur ataupun ikut campur apa yang menjadi peraturan Allah. Aku kurangi sebanyak mungkin kriteria wanita yang akan menjadi istriku. Paling tidak, kriteria agama menjadi dasar utama pilihanku.

Saat itu, sepertinya Allah menjawab doaku, dengan membisikkan lewat hatiku, sebuah ketetapan yang membuat aku sangat terkejut. Bisikan itu mengatakan, sebaiknya aku memilih wanita yang sedang berada di hadapanku sebagai calon pendamping hidup. Bimbang? Jelas aku bimbang. Karena rasanya, waktu itu, wanita yang ada di depanku belum sesuai dengan harapanku. Kemudian belum sempat aku berpikir panjang, aku sudah dihadapkan pada wanita lain, yang memiliki kelebihan fisik dibanding wanita yang pertama. Hatiku menjadi sangat bimbang.

Aku memang pria biasa. Kalau kuturuti hawa nafsuku, jelas, aku menginginkan wanita yang kedua. Namun Allah berkehendak lain. Aku tetap dipertemukan dan "diproses" oleh Allah dengan wanita pertama. Saat aku meminang dia, hatiku terus berkata, Ya Allah, benarkah ini yang terbaik menurut Engkau?

Aku memang pria biasa. Aku sempat merasa takut, bagaimana kalau dia tidak sesuai harapanku? Bagaimana kalau dia....? Dan seribu bagaimana, menyerang pikiranku. Dan aku tetap bertanya, Ya Allah, benarkah ini yang terbaik menurut Engkau? Hingga menjelang pernikahanku dengan dia, pertanyaan itu terus muncul.

Aku memang pria biasa. Kalau mau jujur, wanita yang sekarang menjadi ibu anak-anakku, memang tidak sesuai dengan kriteria calon istri yang dulu pernah aku miliki. Bahkan setahun setelah kami menikah, pertanyaan, Ya Allah, benarkah ini yang terbaik menurut Engkau?, masih muncul juga. Karena begitu banyak hal yang tidak sesuai dengan harapanku, dipertunjukkan oleh Allah. Alhamdulillah, aku menyikapi dengan menganggapnya sebagai teguran langsung dari Sang Maha Penentu Jodoh. Bahwa untuk menghadapi itu semua, aku harus berilmu. Karena memang aku masih kurang banyak ilmu.

Aku memang pria biasa. Tapi aku yakin Allah telah memberikan kepadaku, seorang wanita yang sangat luar biasa. Begitu luar biasanya dia, aku menganggapnya sebagai My Wonder Woman. Sempat terlintas dalam pikiranku, seandainya dulu aku tidak memilih dia, belum tentu aku menjalani hidup seperti sekarang ini. Sehingga ketika pertanyaan yang sama muncul lagi, Ya Allah, benarkah ini yang terbaik menurut Engkau? Aku menjawabnya dengan, Terima kasih Allah, benar, inilah yang terbaik menurut Engkau. Dengan terus bersyukur, bersabar dan berilmu, Insya Allah, aku sudah mendapatkan wanita seperti yang aku inginkan.

Sahabatku, doakan kami, agar dapat terus istiqomah dalam perjuangan membela agama Allah. Jazakallah khoiron katsiiroo

Sebelum Kumengerti Ilmunya.

Sebelum kumengerti ilmunya, aku selalu berharap menjemput jodoh yang sekufu, setara atau sebanding. Ternyata aku terjebak dalam pengertian sekufu yang salah sehingga membutuhkan waktu cukup lama untuk menjemput jodohku.

Sebelum kumengerti ilmunya, sekufu soal latar belakang sosial, menurut aku paling tidak calon pendamping hidupku harus sama denganku.

Sebelum kumengerti ilmunya, sekufu soal pendidikan, menurut aku berarti setingkat. Agar jika diajak bicara, calon istriku dapat mengimbangi apa yang kusampaikan.

Ternyata pengertianku soal sekufu salah besar. Karena aku lebih menitikberatkan kepada sekufu duniawi. Padahal yang lebih penting adalah sekufu akhirat. Artinya, sekufu dalam ketaatan kepada Allah semata.

Setelah kumengerti ilmunya, latar belakang sosial tidak menjadi masalah buatku ketika menjemput jodoh. Dulu, istriku sering naik turun gunung. Sedangkan aku, sering naik turun panggung. Istriku seorang pendekar silat, sedangkan aku seorang penari dan koreografer. Tapi justru dengan perbedaan ini, kami merasa unik dan bersyukur kepada Allah.

Setelah kumengerti ilmunya, latar belakang pendidikan tidak menjadi masalah ketika berproses ta'aruf dengan wanita yang berbeda pendidikannya dengan diriku. Aku lulusan ilmu sosial sedangkan istriku lulusan ilmu pasti. Tapi dengan perbedaan latar belakang pendidikan, kami justru saling mengisi keilmuan masing-masing. Kami sangat bersyukur kepada Sang Maha Berilmu yang telah mengkaruniai kami ilmu yang bermanfaat.

Tapi menurut sahabat-sahabat, sekufukah kami?

Aku dan istriku merasa sekufu, justru karena banyaknya perbedaan diantara kami. Kami berprinsip, kelebihan pasangan sebagai ladang ilmu, kekurangan pasangan sebagai ladang amal. Alhamdulillah, setelah menikah, kami menemukan makna sekufu yang sebenarnya, yaitu sekufu dalam agama. Ini yang terpenting.

Ketika Allah Menjadi Alasan Paling Utama

Sahabat-sahabat, ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan untuk menikah dan menyegerakannya.

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan dengan siapa aku akan menikah. Aku tidak banyak bertanya tentang calon istriku, aku jemput dia di tempat yang Allah suka, dan satu hal yang pasti, aku tidak ikut mencampuri ataupun mengatur apa-apa yang menjadi urusan Allah. Sehingga aku nikahi seorang wanita tegar dan begitu berbakti kepada suami.

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat segala kekurangan istriku. Dan sekuat tenaga pula, aku mencoba membahagiakan dia.

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka menetes air mataku saat melihat segala kebaikan dan kelebihan istriku, yang rasanya sulit aku tandingi.

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka akupun berdoa, Yaa Allah, jadikan dia, seorang wanita, istri dan ibu anak-anakku, yang dapat menjadi jalan menuju surgamu. Amin.

Sahabat-sahabat
kalau Allah menjadi alasan paling utama untuk menikah,
maka seharusnya tidak ada lagi istilah, mencari yang cocok, yang ideal, yang menggetarkan hati, yang menentramkan jiwa, yang.....yang. ...yang.. ....dan 1000 yang......lainnya...
Karena semua itu baru akan muncul justru setelah melewati jenjang pernikahan..
Niatkan semua karena Allah dan harus yakin kepada Sang Maha Penentu segalanya...


Ternyata Bukan Cantik Yang Aku Cari.

Sahabatku, lelaki mana yang tidak ingin memiliki pasangan hidup berwajah cantik dan menarik? Akupun dulu berniat seperti itu. Ingin kumiliki istri yang cantik. Karena aku terlalu sering melihat yang cantik-cantik.

Sahabatku, karena aku merasa memiliki penampilan yang sangat biasa saja, maka aku berniat memiliki istri yang cantik untuk memperbaiki keturunan. Tapi ah, terlalu mengada-ada niatku yang satu ini, karena tidak ada jaminan.

Sahabatku, ketika aku berdiri di depan sebuah cermin besar. Aku pandangi diriku, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tiba-tiba aku sadar, kalau aku terus mencari yang cantik, mana ada wanita cantik yang mau menjadi istri seorang lelaki yang sangat biasa saja?

Terima kasih Allah, telah Kau sadarkan diriku.
Ternyata bukan cantik yang aku cari, karena cantik itu ternyata sangat relatif.
Ternyata bukan cantik yang aku cari, karena cantik tidak menjamin masuk surga.
Ternyata bukan cantik yang aku cari, karena cantik tidak menjamin perbaikan keturunan.
Ternyata bukan cantik yang aku cari, karena cantik, justru membuat sebagian hati lelaki tidak tenang.
Ternyata bukan cantik yang aku cari di dunia ini, karena aku yakin, Allah akan membuat wanita yang sekarang menjadi istriku, jauh lebih cantik di surga nanti.

(By Rico Atmaka, Daarut Tauhiid)

Sabtu, 13 Juni 2009

A relation (linkage) between APBN and budget allocation

Sources: Ministry of Finance (MoF) Data

APBN and budget allocation have a positive relation. It means when government got more revenue, they would spend more in budget allocation. This condition related with some economic theory. Goldsmith (2008) say that public expenditure could be classified based on productivity and consumption. If government spends their money for productivity, they would expand their aggregate demand in short term condition. But increasing of government expenditure in interest payment will become an obstacle for private investment and growth of aggregate demand in long term. Increasing in government expenditure related with tax condition in our country. Increasing in tax revenue will increase the government expenditure. But, people usually uncomfortable with this condition because they should pay a higher tax to increase government expenditure (Peacock and Wiseman).


Government Expenditure


Government consumption expenditures consist of compensation of employees, capital consumption (depreciation) and intermediate consumption (including travel allowance, maintenance cost, and other routine expenditures) whether expand by central or by local government. In 2000, Central government expenditures divided into routine budget and development budget. Since 2005, APBN has been new format. We usually divided the government expenditure into personnel expenditures, material expenditures, capital expenditures, interest payment, subsidy (oil subsidy and non oil subsidy), grants, social expenditure, other expenditures. While composition of regional expenditure consist of balance funds (revenue sharing, central allocation fund, specific allocation fund) and specific decentralization fund and balancing.


In general, increasing of government expenditure was influenced by price stabilization policy, improvement in fiscal stimulus and poverty reduction program. In price stabilization, government showed their commitment with giving some kind of subsidy. While improvement fiscal stimulus was directed for improving income of civil servant; increasing the quality, efficiency and effectively through material expenditure; increasing budget for infrastructure for capital expenditure; and also increasing allocation for education expenditure. To support and continue poverty reduction program, government still allocate for education and health expenditure.


Increasing government revenue and infrastructure at region level make higher of budget transfer to region. Goals of this transfer are to decrease fiscal gap between central government and regional government, to support fiscal sustainability in economic macro policy, improvement capacity of regional government to get higher local revenue, and improvement transparency and accountability of budget allocation to region.


Since 2000, Budget allocation for regional government has been increased. The increasing of central allocation fund was happened because of increasing in domestic revenue while specific allocation fund was higher when government has a higher transfer for deconcentration fund

Government Revenue and Grant

Since 2000, the financial government policy as reflected in the government revenue and expenditure budget was based on deficit budget. It means that deficit budget was financed by domestic and foreign resources. But, since 2005, the planning of APBN (RAPBN) had used a new format. The new format and structure in the APBN followed the unified budget with no classification for government routine and development budget. In general, composition of government revenue includes tax revenue and non tax revenue. Same as the previous years, tax revenue still dominated the government revenue. From graph below, in 2000 sharing of tax revenue was 11.8 percent while for non tax revenue only 8.8 percent. In 2008, tax revenue was increased into 13.7 percent because improvement in tax policy. While the performance of non tax revenue is not as good as tax revenue because some problem was happened such as decreasing of domestic oil lifting,etc

STOP PELECEHAN SEKSUAL!!!!


Kalau boleh jujur,,siapapun dari kita mungkin pernah mengalami pelecehan seksual..coba anda ingat sejak anda masih balita hingga saat ini, apakah pernah anda mengalami perlakuan yang menurut anda tidak menyenangkan. Mungkin ketika anda di Bis atau kendaraan umum lainnya, disekolah atau bahkan di tempat pribadi anda sendiri (kamar, rumah atau kendaraan pribadi).

Pelecehan bisa menimpa siapa saja, mulai dari bayi hingga kakek-kakek atau nenek-nenek. Namun, seringkali semua ini tidak pernah menjadi perhatian dan dianggap persoalan pelecehan sebagai angin lalu. Selama pelecehan seksual tidak berlanjut kepada kasus pencabulan atau bahkan pemerkosaan dianggap bukan sesuatu yang layak untuk diperbincangkan dan dibahas. Hal ini bisa saja berlaku demikian karena definisi dari pelecehan yang kurang jelas dan masih terbilang kabur. Dalam Wikipedia, pelecehan seksual didefinisikan sebagai perilaku pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik menuju pada seks. Masih dari sumber yang sama (Wikipedia), dalam kejadian pelecehan seksual biasanya meliputi 10 persen kata-kata pelecehan, 10 persen intonasi yang menuju kepada pelecehan dan 80 persen non verbal (
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual)

Menurut Shanti Dewi, SH, MH, pengacara dan juga salah satu narasumber dalam seminar “Menangani Masalah Hukum Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual: Menuju Upaya Terbentuknya UU Anti Pelecehan Seksual” yang diselenggarakan oleh beberapa Fakultas di Universitas Indonesia, belum ada peraturan yang mengatur secara khusus tentang pelecehan ini. Selama ini setiap kasus pelecehan dimasukkan ke dalam pasal 335 KUHP sebagai wujud dari perbuatan yang tidak menyenangkan. Sedangkan, LBH APIK ,sebagai salah satu lembaga yang bergerak menangani berbagai kasus terkait kekerasan seksual, menggolongkan pelecehan seksual sebagai bagian dari kekerasan seksual (lainnya adalah perkosaan dan pencabulan). LBH APIK mencatat selama kurun waktu 2008 tercatat sudah ada 33 kasus kekerasan seksual meliputi 10 kasus pencabulan, 16 kasus pemerkosaan dan 7 kasus pelecehan seksual dan diantar 33 kasus ini 17 korbannya adalah anak-anak. Dari aspek psikologis, dapatkan anda bayangkan bagaimana tersiksanya jiwa dan batin dari anak-anak tersebut. Di usia muda mereka sudah harus dihadapkan dengan trauma menyakitkan. Rasa sakit hati, terhina, dan berbagai kebencian menyelimuti jiwa mereka setiap mengingat peristiwa tersebut.

Lantas, bagaimana tindakan yang dapat dilakukan untuk mengembalikan rasa percaya diri dan mengikis trauma para korban. Salah satu cara adalah mendorong mereka untuk bercerita tentang apa yang mereka alami, pemulihan korban akan sulit apabila korban bungkam. Bungkamnya korban ini dapat menguntungkan sisi pelaku karena bisa jadi situasi menjadi berbalik dimana pelaku akan menyalahkan korban. Konsekuensi lain yang sebenarnya cukup membahayakan adalah jika korban pelecehan seksual yang berlanjut pada tindakan pencabulan tidak tertangani dengan baik, maka mereka berpotensi untuk menjadi pelaku. Untuk itu penanganan trauma tidak hanya dibutuhkan bagi para korban tetapi juga para pelaku yang mungkin pernah menjadi korban.

Kemudian apakah kita tidak bisa mencegah terjadinya pelecehan seksual baik pada diri kita ataupun pada orang-orang terdekat kita. Berbagai tips standar mulai dari cara bersikap dan berpenampilan hingga bertutur kata menjadi acuan yang harus diperhatikan. Tetapi apakah sudah menjamin kita terbebas dari pelecehan, mungkin saja tidak. Untuk itu, perlu adanya ketegasan dan keberanian untuk melawan berbagai perilaku yang mengarah atau bahkan sudah masuk kategori pelecehan. Tidak ada ampun untuk para pelaku pelecehan seksual dimanapun anda menemuinya. Kini, Universitas Indonesia bersama dengan beberapa kalangan akademisi tengah “menggodok” peraturan yang dapat membuat jera para pelaku pelecehan ini. Sebab, tidak dapat dipungkiri, para pelaku pelecehan tidak hanya dari kalangan biasa tetapi tidak sedikit kalangan akademisi yang juga menjadi pelaku namun mereka masih dapat berlindung dibalik label akademisi yang mereka miliki. Sambil menanti peraturan ini diwujudkan, kita harus mampu tuk melindungi diri kita, untuk itu jika anda mengalami perbuatan yang kurang menyenangkan maka jangan pernah ragu untuk menegur si pelaku atau melaporkan hal ini ke orang terdekat kita atau bahkan laporkan saja ke pihak yang berwajib. Jadi berhati-hatilah dengan siapapun disekitar anda!!!!!!!!!!